Feeds:
Posts
Comments

Ada dua anak bernama Si Ceria dan Si Murung. Seperti namanya Ceria mempunyai sifat periang, selalu gembira dan tersenyum. Sebaliknya Murung mempunyai perangai yang cemberut, selalu sedih, dan jarang tersenyum. Suatu ketika orang tua mereka berpikiran untuk membuat Si Murung tersenyum gembira dan membuat Si Ceria menjadi sedih cemberut dan sedih. Mereka lalu berpikir untuk memberikan sesuatu yang menjadi kesukaan masing-masing anak.

Si Murung menginginkan telepon genggam. Selama ini jika pergi dengan teman-temannya sering kali ia meminjam telepon genggam milik temannya. Orang tuanya membelikan sebuah telepon genggam terbaru supaya dia menjadi senang dan gembira.

Sewaktu Murung pergi sekolah, telepon genggam itu dibungkus oleh orang tuanya dengan kertas kado yang bagus dan diletakkan di kamarnya. Sepulang sekolah, Murung segera masuk ke kamar dan melihat ada kado di sana. Cepat-cepat ia membuka kado itu dan ia terkejut sekali ketika mendapatkan di dalamnya berisi telepon genggam. Wajahnya tersenyum, tapi tidak lama. Kemudian ia murung lagi karena ia takut kalau-kalau teman-temannya akan meminjam telepon genggamnya lalu menjadi rusak. Di benaknya selalu muncul pikiran yang negatif, sehingga kado itu menjadi beban baginya. Yang keluar dari mulutnya adalah omelan dan keluhan, bukannya ucapan terima kasih kepada orang tuanya.

Di pihak lain, si Ceria senang sekali dengan kuda. Orang tuanya membungkus kotoran kuda dan diletakkan dalam kamar agar ia menjadi sedih dan murung. Sewaktu Ceria pulang ia juga terkejut melihat ada kado di kamarnya. Dengan sergap ia membuka pula kado itu. Betapa terkejutnya ia, ternyata yang didapatkan adalah kotoran kuda berbau busuk. Mukanya kebingungan sejenak. Tetapi ia segera berpikir, “Ah masa orang tuaku yang begitu mencintaiku memberi aku kotoran kuda, pasti ada sesuatu di balik hadiah ini.”

Kemudian ia lari kepada orang tuanya dan mencium mereka. Orang tuanya sangat bingung dan terkejut kemudian bertanya, “Lho kamu itu diberi kotoran kuda kok senang sih?”. Lalu Ceria menjawab, “Papa, Mama, saya tahu kalian sangat mencintai saya, jadi tidak mungkin memberi kotoran kuda kepada saya, pasti kotoran kuda itu adalah sebuah tanda. Kalau ada kotoran kuda, berarti ada kudanya. Saya tahu bahwa kalian akan membelikan kuda pony buat saya”

Tong Sampah

Seorang pria tua yang bijak memutuskan untuk pensiun dan membeli rumah mungil dekat sebuah SMP. Selama beberapa minggu ia menikmati masa-masa pensiunnya dengan tenang dan damai. Kebetulan saat itu sedang masa liburan sekolah.

Tak berapa lama kemudian, masa sekolah tiba. Dan, sekolah itu pun penuh dengan anak-anak. Suasana tenang dan nyaman menjadi sedikit berubah. Namun yang paling menjengkelkan pak tua adalah, setiap hari ada tiga anak laki-laki lewat di depan rumah yang suka memukuli tong sampah yang ada di pinggir jalan. Mereka membikin keributan sepanjang hari dan berulah seolah-olah menjadi pemain perkusi hebat. Begitu terus dari hari ke hari.

Sampai akhirnya pak tua merasa harus melakukan sesuatu pada mereka. Keesokan harinya, pak tua keluar rumah sambil tersenyum lebar menghampiri tiga anak laki-laki yang sedang asyik memukuli tong sampah. Ia menghentikan permainan mereka, dan berkata, “Hai, anak-anak! Kalian pasti suka bersenang-senang. Saya suka sekali dengan cara kalian bersenang-senang seperti ini. Sewaktu saya masih kecil, saya juga suka bermain-main seperti kalian. Nah, apakah kalian mau saya beri uang?” “Mau.. mau..” sahut ketiga anak itu serempak. “Okay, begini,” pak tua itu tersenyum. Lalu ia mengeluarkan tiga lembar uang ribuan dari sakunya. Katanya, “Masing-masing dari kalian saya beri uang seribu. Tapi kalian harus berjanji mau bermain-main di sini dan memukuli tong sampah ini setiap hari.” Anak-anak itu senangnya luar biasa. Sejak itu setiap hari mereka “bekerja”memukuli tong sampah itu dengan penuh semangat.

Beberapa hari kemudian, pak tua itu menghampiri dan menyambut “pekerjaan” mereka dengan penuh senyum. Namun kali ini senyumnya tampak agak sedih. Katanya, “Nak, kalian tahu khan situasi krisis akhir-akhir ini membuat uang pensiun saya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Ia menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak itu menunggu apa yang diucapkannya. Lanjut pak tua. “Mulai hari ini saya hanya bisa membayar kalian lima ratus saja untuk tugas kalian memukuli tong sampah ini.” Anak-anak itu tampak kecewa dengan keputusan pak tua, namun mereka masih bisa menerimanya. Lalu mereka melanjutkan tugas mereka membuat keributan sepanjang hari.

Beberapa hari kemudian, pak tua itu dengan wajah memelas mendekati anak-anak yang sedang memukuli tong sampah. Katanya, “Maaf, bulan ini saya belum menerima kiriman uang pensiun. Saya hanya bisa memberi kalian bertiga seribu Rupiah saja.”

“Apa..? Seribu untuk bertiga?,” protes pemimpin pemain tong sampah itu. ” Apa pak tua kira kami ini mau menghabiskan waktu kami di sini hanya untuk uang segitu? Ah, yang benar saja! Pak tua ini tidak masuk akal. Mulai hari ini kami tidak mau lagi melakukan tugas ini lagi. Kami keluar.” Ketiga anak lelaki itu pergi meninggalkan pak tua itu dengan bersungut-sungut.

Dan, sejak hari itu pak tua menikmati ketenangan hingga akhir hayatnya.

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya. Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. “Ini adalah rumahmu,” katanya, “Hadiah dari kami.” Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri. Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.

Sikap Menerima

Joe agak pemalu ketika masih remaja, dan bahkan ketika sudah duduk di perguruan tinggi, ia juga tidak memiliki keberanian untuk mengajak kencan seorang gadis. Pada suatu malam, Jake yang tinggal di kamar lain di asrama yang sama memberinya tawaran yang tak dapat ditolaknya, tawaran untuk memperkenalkannya dengan seorang gadis, teman pacar Jake, yang kebetulan sedang berkunjung untuk liburan akhir pekan. “Tidak, terima kasih,” sahut Joe. “Aku tidak mau kencan buta.”

“Jangan khawatir dengan gadis ini,” kata Jake meyakinkan Joe. “Julie gadis istimewa, dan percayalah ia cantik.”

“Tidak,” ulang Joe. “Ini bukan situasi yang mungkin gagal. Aku bahkan memberimu jalan keluar,” papar Jake. “Bagaimana ?” tanya Joe.

“Waktu kita menjemput ke asrama mereka, tunggulah sampai ia keluar dari pintu, lalu periksalah sendiri. Bila kamu memang menyukainya, maka baguslah, kita akan menikmati malam yang menyenangkan. Tapi kalau menurutmu ia jelek, berpura-puralah terkena serangan asma. Cukup dengan ‘Aaahhggggg !’ lalu kau pegang tenggorokanmu seolah-olah sulit bernapas. Apabila ia bertanya, ‘Ada apa ?’ katakan saja ‘Asmaku kambuh.’ Jadi kencan itu kita batalkan. Begitu saja. Tidak usah ragu. Tidak akan ada masalah.”

Joe ragu-ragu. Akan tetapi ia setuju untuk mencobanya. Apa ruginya ? Ketika mereka tiba di pintu asrama mereka, Joe mengetuk pintu, maka keluarlah gadis itu. Joe mengamatinya dan tidak dapat mempercayai matanya. Ia cantik sekali. Betapa beruntungnya dia? Ia hampir tidak tahu harus berkata apa. Gadis itu juga mengamati Joe dan tiba-tiba, “Aaahhggggg !” Tampaknya tidak hanya mereka yang telah menyiapkan rencana darurat.

Kesempatan

Ada seorang kakek yang sudah tua, tinggal di sebuah rumah di pinggiran desa. Kakek ini adalah seorang yang sangat saleh dan rajin beribadah kepada Tuhan. Si kakek dikenal di seluruh desa karena kebaikannya suka menolong orang dan taat beribadah.

Pada suatu hari turun hujan lebat di desa tersebut dan air dengan sangat cepatnya naik ke atas dan telah mencapai sebatas lutut. Orang-orang di desa tersebut telah diinstruksikan untuk mengungsi dan ramai-ramai mereka membawa barang-barangnya keluar dari rumah mereka masing-masing.

Si Kakek yang tinggal di pinggiran desa juga tidak luput dari situasi banjir tersebut dan menjadi cemas karenanya, tetapi sebagai orang yang beriman, dia berusaha berdoa memohon kepada Tuhan untuk menghentikan hujan yang lebat tersebut agar seluruh orang di desa tersebut bisa diselamatkan.

Tak lama setelah dia berdoa, datanglah kepala desa hendak menjemputnya dengan kendaraan jipnya, tetapi si kakek menolak dengan halus dan dia berkata bahwa dia percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan doanya dan segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Pergilah segera sang kepala desa dengan perasaan cemas, tetapi karena dia percaya bahwa dia memang orang yang saleh, tentunya Tuhan juga pasti akan menolongnya juga. Hujan turun semakin lebatnya dan telah mencapai ketinggian satu meter dan seluruh penduduk desa telah mengungsi ke luar dan si kakek pun sudah berjongkok di atas lemarinya, dengan perasaan yang semakin cemas akhirnya dia berdoa dengan lebih keras lagi memohon kepada Tuhan untuk segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Tak lama kemudian datanglah regu penyelamat dengan mengendarai perahu karet dan berteriak-teriak memanggil si kakek. Si kakek pun berteriak kepada regu penyelamat tersebut dan berkata bahwa dia telah berdoa kepada Tuhan dengan lebih bersungguh-sungguh dan Tuhan selama ini tidak pernah tidak mendengarkan doanya dan dia percaya bahwa kali inipun Tuhan pasti mendengarkan doanya.

Akhirnya perahu karet itupun pergi dengan perasaan yang sangat khawatir akan keselamatan si kakek, tetapi karena merekapun merasa bahwa sang kakek memang memiliki iman yang lebih tebal daripada mereka maka merekapun tidak berani memaksa lebih keras lagi. Sepeninggal regu penyelamat dengan perahu karet, hujan malah turun semakin lebatnya dan lebih lebat dari sebelumnya dan kali ini si kakek sudah berdiri di atas atap rumahnya dan berteriak-teriak dengan sangat kerasnya berdoa memohon kepada Tuhan untuk segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Dari atas terdengar deru helikopter dengan keras dengan lampu sorotnya dan tampak beberapa orang berteriak dari atas helikopter kepada sang kakek untuk segera menangkap tali yang dilemparkan ke bawah. Dan kali inipun sang kakek menolak dan berkata dengan yakinnya bahwa dia telah berdoa dengan sangat sungguh-sungguh dan kali ini Tuhan pasti akan menghentikan hujan tersebut dan menolong si kakek. Dengan putus asa helikopter tersebut meninggalkan si kakek yang terus berteriak-teriak memohon kepada Tuhan untuk menghentikan hujan lebat tersebut dan mereka berharap bahwa semoga doa kakek terkabul dan mereka juga tahu bahwa kakek Rahmat adalah orang yang sangat beriman dan selalu menolong orang lain.

Akhir kata hujan tidak juga berhenti dan menenggelamkan si kakek dan dia pun meninggal. Karena selama hidupnya kakek tersebut sangat beriman dan tidak pernah sekalipun berbuat yang tidak baik dihadapan Tuhan, maka si kakek diijinkan masuk ke dalam surga. Di surga, kakek bertemu dengan Tuhan dan lalu menyatakan kekecewaannya karena doanya yang terakhir tidak dikabulkan olehNya.

Tuhanpun berfirman kepadanya :”Kakek yang baik, engkau adalah hambaKu yang baik dan sepanjang hidupmu engkau selalu menuruti firmanKu, dan Akupun selalu mendengarkan doa-doamu dan mengabulkannya. Pada waktu engkau berdoa yang pertama kalinya, Aku telah mengirim kepala desa untuk menjemputmu dengan mobil jipnya tetapi engkau tolak, lalu doamu yang kedua, Aku mengirimkan regu penyelamat dengan perahu karetnya dan itupun kau tolak dan terakhir engkau berdoa kepadaKu, Aku mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemputmu tetapi masih engkau tolak juga. Nah, bukankah Aku selalu mendengarkan doamu?.”

Si Penggosip

Seorang wanita mengulang sepotong gosip mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari, seluruh komunitas mengetahui ceriteranya. Orang yang digosipin itu sudah tentu sakit hati dan merasa terpukul.

Kemudian si wanita yang bertanggung jawab karena telah menyebarluaskan gosip tersebut menemukan bahwa gosip itu betul-betul salah. Dia menyesal dan datang kepada orang tua yang bijak untuk mencari tahu apa yang dapat dilakukannya untuk memperbaiki kesalahannya itu. “Pergilah ke pasar,” katanya, “dan beli seekor ayam dan bunuh. Kemudian dalam perjalanan pulang, cabuti bulunya dan buang satu persatu di sepanjang jalan pulang.”

Meski kaget mendengar saran itu, si wanita melakukan apa yang disuruh kepadanya. Keesokan harinya si orang bijak itu berkata, “Sekarang pergilah dan kumpulkan semua bulu yang kau buang kemarin dan bawa kembali kepadaku.”

Si wanita pun menyusuri jalan yang sama, namun angin telah melemparkan semua bulu-bulu itu kemana-mana. Setelah mencari-cari selama berjam-jam, ia kembali hanya dengan tiga potong bulu. “Lihat kan?” kata si orang bijak, “sangat mudah melemparkannya, namun tidak mungkin menariknya kembali. Begitu pula dengan gosip. Tidak sulit menyebarluaskan rumor, namun sekali terlempar, anda tidak akan pernah secara penuh memperbaiki kesalahan anda.”

Dua malaikat yang sedang melakukan perjalanan ke luar kota, singgah pada rumah seorang yang kaya raya. Keluarga tersebut kasar dan tidak mengizinkan kedua malaikat tersebut tidur di dalam rumah besar mereka. Sebagai gantinya, mereka menyuruh kedua malaikat tersebut tinggal di gudang bawah tanah mereka yang dingin, kotor dan tanpa pemanas. Ketika sedang menyiapkan tempat tidur mereka, malaikat yang lebih tua melihat sebuah lubang di dinding, lalu memperbaikinya. Ketika malaikat yang lebih muda bertanya, malaikat yang tua itu menjawab, “Tidak semua hal itu sebagaimana tampaknya.”

Malam berikutnya, kedua malaikat tersebut menginap di sebuah keluarga petani yang miskin, tetapi sangat ramah. Setelah berbagi makanan yang serba sedikit, pasangan petani tersebut mempersilahkan kedua malaikat tersebut tidur di tempat tidur mereka, sedangkan mereka sendiri tidur di lantai. Ketika matahari muncul di ufuk timur keesokan paginya, mereka menemukan pasangan petani tersebut sedang menangis sedih. Ternyata, sapi yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan mereka, yang memberikan susu setiap pagi, tergeletak mati di pinggir ladang mereka. Malaikat muda menjadi marah dan mencaci maki malaikat tua, katanya, “Mengapa engkau tega melakukan semua ini kepada mereka? Mengapa engkau membiarkan semua ini terjadi? Kemarin kita mendapat kesempatan untuk menginap di rumah seorang kaya raya. Kita dibiarkan tidur di gudang yang kotor dan dingin, tetapi kamu masih membantu mereka dengan memperbaiki dindingnya yang bolong. Malam ini kita menginap di rumah seorang petani miskin yang begitu ramah dan mau berbagi, tetapi apa yang kamu lakukan? Kamu biarkan sapi yang merupakan satu-satunya sumber hidup, mati. Maumu apa, sih? “Malaikat tua menjawab singkat, “Tidak semua hal itu sebagaimana tampaknya.”

Ketika malaikat muda mendesak untuk menjelaskan, malaikat tua berkata, “Waktu kita menginap di tempat orang kaya kemarin, aku melihat sebuah lubang di dinding. Di dalamnya ada kepingan emas. Tetapi karena orang kaya tersebut sangat tamak, tidak mau berbagi, dan tidak bisa ramah kepada orang lain, maka dinding tersebut kututup. Biar mereka tidak tahu dan tidak dapat mengambil emas tersebut. Lalu malam ini, ketika kita tidur di ranjang Pak Tani, dan mereka mengalah tidur di lantai, malaikat maut datang hendak mengambil isteri petani itu. Tetapi aku belokkan dan sebagai gantinya, malaikat maut itu mengambil sapi Pak Tani. Tidak semua hal itu seperti bagaimana tampaknya. Terkadang kejadian di sekitar kita juga begitu. Jika kamu memiliki iman, kamu harus percaya bahwa semua hal merupakan keberuntunganmu, meskipun mungkin kita tidak menyadarinya.

Kata-Kata Kasar

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. “Oh, maafkan saya” adalah reaksi saya. Ia berkata, “Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda.” Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. “Minggir,” kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya. Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku, “Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang.

Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu.” “Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu.” Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, “Bangun, nak, bangun,” kataku “Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?” Ia tersenyum,” Aku menemukannya jatuh dari pohon.” “Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru.” Aku berkata, “Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi.” Si kecilku berkata, “Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu.” Aku pun membalas, “Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru.”

Tempayan Retak

Seorang tukang air di India memiliki dua tempayan besar, masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawanya menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak itu berkata kepada si tukang air, “Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu.” “Kenapa?” tanya si tukang air. “Kenapa kamu merasa malu?” “Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi,” kata tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada si tempayan retak, dan dalam belas kasihannya, ia berkata, “Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”

Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan. Itu membuatnya sedikit terhibur.

Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor, dan kembali tempayan retak itu meminta maaf pada si tukang air atas kegagalannya. Si tukang air berkata kepada tempayan itu, “Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu? Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu, dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu ada, majikan kita tak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada ibunya. “Ibu, mengapa Ibu menangis?”. Ibunya menjawab, “Sebab, aku wanita.” “Aku tak mengerti,” kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tak akan mengerti….”

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. “Ayah, mengapa Ibu menangis? sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?” Sang ayah menjawab,”Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan.” Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya. Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan “Tuhan,mengapa wanita mudah sekali menangis? Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, “Saat Kuciptakan wanita, aku membuatnya menjadi sangat utama.

Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Wanita, kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang ,untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan inilah pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankan tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa, suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya.

Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, kuberikan ia airmata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan.